Kontroversi Kurikulum 2013 vs Kebijakan Kemendiknas Anies Baswedan

kurikulumPasca terpilihnya jajaran kabinet Indonesia Hebat, hampir semua menteri yang menjabat melakukan trobosan dan kerja-kerja nyata agar dapat populer ataupun benar-benar menjalankan Amanah Rakyat, begitu pula dengan bidang Pendidikan, salah satunya kebijakan yang kontroversial yaitu Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan menghentikan kurikulum 2013 bagi sekolah yang belum siap. “‎Untuk pendidikan itu jangan main-main dengan kurikulum. Kurikulum itu bukan sesuatu yang untuk kepentingan menterinya, tapi itu untuk kepentingan siswa dan guru supaya bisa berinteraksi dengan baik,” kata Anies di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (8/12/2014).

‎Mengenai kebijakan kementeriannya mencabut penerapan Kurikulum 2013 di 208 ribu sekolah, Anies mengatakan Kurikulum 2013 sebenarnya masih dalam tahap penyempurnaan. Menurut dia, penerapan Kurikulum 2013 terlalu buru-buru, sehingga memicu terjadinya permasalahan di lapangan.

“Bayangkan, tanggal 14 Oktober 2014, seminggu sebelum pelantikan presiden baru, menteri mengeluarkan peraturan No 159, dan peraturan itu meminta agar dievaluasi kesesuaian antara ide dengan desain, antara desain dengan dokumen, antara dokumen dengan implementasi, jadi sisi konsepnya pun belum dievaluasi‎, kok ini sudah diterapkan,” papar Anies.

Sebagai jalan keluar, Anies mengatakan sekolah yang belum siap menerapkan kurikulum baru tersebut‎ akan kembali ke Kurikulum 2006 mulai semester genap nanti.

“Kemudian buku yang sudah dicetak, disimpan di sekolah, kemudian kalau kita lakukan ini dengan baik, nanti Insya Allah ketika kita jalankan lagi bisa kita manfaatkan lagi,” kata Anies. Lihat http://news.liputan6.com/read/2144282/alasan-menteri-anies-hentikan-kurikulum-2013.

Kebijakan Anies ini tentu saja menimbulkan dunia pendidikan di tanah air. Mendikbud sebelumnya, Mohammad Nuh membantah bahwa ia menyusun kurikulum 2013 ini dengan terburu-buru. Nuh menyatakan bahwa ia dan timnya menyusun kurikulum 2013 ini dalam waktu dua tahun. Bahkan Nuh juga pernah menyatakan bahwa Anies dulu masuk dalam tim untuk penggarapan kurikulum 2013 itu.

Setelah mendapat penjelasan Nuh di media massa, Anies kemudian seperti membelokkan masalah. Ia menyatakan bahwa guru lebih penting daripada kurikulum.

Pernyataan Anies ini aneh. Pakar pendidikan sudah tahu tentu saja guru lebih penting daripada kurikulum. Tapi guru tanpa pegangan kurikulum juga akan kacau. Kecuali sedikit guru yang memang ahli di tanah air. Kurikulum diperlukan agar guru-guru di tanah air ada pegangan, sehingga mereka punya bahan untuk mengajar. Karena tidak semua guru ahli di bidang pengajarannya.

Kurikulum 2013 yang dicanangkan Mohammad Nuh, memang mendapat reaksi keras terutama dari ahli-ahli pendidikan di harian Kompas. Mereka memprotes pencampuran agama dalam berbagai bidang ilmu. Mereka ingin dipisahkan antara ilmu/sains dengan agama. Sedangkan Nuh berkeinginan agama menjadi landasan dalam berbagai ilmu/pengajaran, sehingga moral murid-murid menjadi lebih baik.

Kebijakan Anies ini mungkin dilatarbelakangi dengan latar belakang pendidikannya di Amerika yang memisahkan antara ilmu dengan agama. Dengan gelar doktornya Anies tentu saja yakin bahwa jalan pendidikan di Amerika adalah yang ‘terbaik’. Dan ia nampaknya ingin menerapkan model pendidikan di sana dengan di sini. Apalagi kemudian Anies dipuja-puji media dengan keberhasilannya dalam program Indonesia Mengajar. Ditambah lagi kedudukannya sebagai Rektor Paramadina yang kampusnya mempunyai nafas pluralisme, lengkaplah keyakinan Anies ‘sekulerisme’ dalam ilmu dan agama adalah jalan terbaik dalam pendidikan.

Perubahan kurikulum, di mana pun, sebetulnya hampir sama, selalu membutuhkan penyesuaian pola pikir para pemangku kepentingan (stake holder). Demikian pula yang terjadi pada Kurikulum 2013 ini, ia hanya mungkin sukses bila ada perubahan paradigma atau lebih tepatnya mindset para guru dalam proses pembelajaran. Hal itu mengingat substansi perubahan dari Kurikulum 2006 (KTSP) ke Kurikulum 2013 ini adalah perubahan proses pembelajaran, dari pola pembelajaran ala bank, yaitu guru menulis di papan tulis dan murid mencatat di buku serta guru menerangkan sedangkan murid mendengarkan menjadi proses pembelajaran yang lebih mengedepankan murid untuk melakukan pengamatan, bertanya, mengeksplorasi, mencoba, dan mengekspresikannya. Proses pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif tersebut hanya mungkin terwujud bila mindset guru telah berubah. Mereka tidak lagi memiliki mindset bahwa mengajar harus di dalam kelas dan menghadap ke papan tulis. Mengajar bisa dilakukan di perpustakaan, kebun, tanah lapang, atau juga di sungai. Media pembelajaran pun tidak harus buku, alat peraga, atau komputer. Tanam-tanaman dan pohon di kebun, sungai, dan sejenisnya juga dapat menjadi media pembelajaran.

Agaknya, Konvensi Nasional Pendidikan akan dapat menjadi jawaban untuk menyempurnakan posisi Kurikulum 2013, termasuk jika penyempurnaan itu memerlukan waktu (penundaan setahun) dan evaluasi UN, sebab Kurikulum 2013 harus menjadi “kado” bagi bangsa ini.

Tinggalkan komentar